A. Sejarah Kebudayaan Islam di Maluku
بسم
الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
وعلى آله وصحبه ومن والاه.
أما بعد:
Salah
satu pencaharian masyarakat Arob adalah berdagang, dari zaman ke zaman mereka
terus melakukan usaha perdagangan ini, sebelum diutusnya Nabi Muhammad Shollallohu
'Alaihi wa Sallammasyarakat Arob sudah melakukan perdagangan, yang ketika
itu tempat perdagangan mereka berpusat di negri Syam, sebagaimana yang
dikisahkan oleh Abu Sufyan bin Harb kepada Abdulloh bin 'Abbas semoga
Alloh meridhoi keduanya:
"إنَّ هِرَقْلَ
أَرْسَلَ إِلَيْهِ فِي رَكْبٍ مِنْ قُرَيْشٍ، وَكَانُوا تُجَّارًا
بِالشَّأْمِ".
"Sesungguhnya Hirqlius
mengutus kepadanya pengendara dari Quroisy, dan mereka ketika itu adalah
berdagang di Syam". Diriwayatkan oleh Asy-Syaikhon.
Tidak
hanya mereka berdagang ke Syam namun sebagian mereka juga mencoba menjelajahi
samudra yang luas, dengan membutuhkan perjalanan yang jauh dan waktu yang
sangat panjang, dengan itu mengakibatkan mereka tidak mampu untuk kembali ke
tanah kelahiran mereka di Arob.
Demikianlah
salah satu sebab utama masyarakat Arob terpencar-pencar ke beberapa penjuru
dunia, dan diantara penyebab lainnya yang mengakibatkan banyak dari masyarakat
Arob berpindah dari jaziroh Arob ke jaziroh-jaziroh lainnya karena munculnya
pemerintahan yang beraliran Nawashib yaitu mereka menghina dan
memerangi Ahlul Bait (anak keturunan Ali bin Abi Tholib) dan
siapa saja yang bersama mereka.
Abul
'Abbas Ahmad Al-Harroniy semoga Alloh merohmatinya berkata tentang
aliran sesat ini:
"وَطَرِيقَةِ
"النَّوَاصِبِ"، الَّذِينَ يُؤْذُونَ "أَهْلَ الْبَيْتِ"،
بِقَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ".
"Dan jalannya Nawashib adalah
mereka menyakiti Ahlul Bait baik dengan perkataan ataupun
dengan perbuatan".
Nawashib
ketika sudah berkuasa di jaziroh Arob maka mereka terus menerus menghina dan
mengejarAhlul Bait hingga mereka yang bermukim di negri Haromain
(Makkah dan Madinah) melarikan diri menuju Hadromaut di Yaman dan mereka
menetap hanya beberapa lama di sana, karena bala tentara Nawashib terus
mengejar mereka[1],
kemudian mereka melanjutkan perjalanan dengan menyebrangi Samudra Hindia, dalam
waktu beberapa bulan kemudian mereka sampai di Kepulauan Seribu (Maluku),
sesampainya di negri ini mereka mendapati keindahan dan kekayaan alam yang
sangat jauh berbeda dengan apa yang ada di negri asal mereka, di negri
Kepulauan Seribu ini mereka tidak mendapati suatu kaumpun melainkan hanya kaum
yang berbangsa Arifuru, yang ciri-ciri mereka adalah tidak berpakaian melainkan
hanya mengenakan sehelai kain atau kulit untuk menutupi dubur dan kemaluan
mereka, mereka (yang berasal dari jaziroh Arob) itu kemudian menda'wahi
orang-orang Arifuru hingga ada dari mereka masuk Islam, adapun yang enggan
untuk masuk Islam dari bangsa Arifuru ini maka mereka melakukan perpindah
ke pedalaman di pulau Seram dan ke pedalaman di pulau Buru.
Para
keturunan Arob itu kemudian mukim di Kepualuan Seribu hingga beranak keturunan,
dari sinilah mereka dinamai dengan "orang-orang negri" yaitu
orang-orang yang pertama kali mendatangi Kepulauan Seribu, karena keberadaan
mereka banyak, maka mereka berpencar-pencar, ada dari mereka yang ke Uli
Hatuhaha dari keturunan mereka itu melahirkan marga Marasabessiy, ada dari
mereka yang ke pulau Banda dari keturunan ini melahirkan marga Nurbattiy, ada
pula yang ke pulau Seram dari keturunan ini melahirkan marga Wakano, ada yang
ke Tulehu melahirkan keturunan bermarga Ohorella, dan masih sangat banyak dari
mereka yang terpencar-pencar kebeberapa daerah lainnya di Kepulauan Seribu,
dari mereka ini melahirkan banyak marga diantaranya marga Lessiy, Nurlette
At-Tamimiy dan sebagian lagi dari mereka yang merasa sebagai para "Habib"
menggunakan marga As-Seggaf.
B.
Berdirinya
Kerajaan-Kerajaan Islam di Maluku
Ketika
masyarakat dari tiap-tiap daerah itu sudah bertambah dan berkembang maka
mulailah masing-masing tempat mendirikan kerajaan-kerajaan Islam, dengan
keberadaan kerajaan Islam itu dinamailah Kepulauan Seribu dengan nama Maluku,
yang diambil dari bahasa Arob yaitu "Mulk" yang berma'na kerajaan.
Dengan
semakin tersebar luasnya berita tentang kekayaan alam di bumi Kepulauan Seribu
(Maluku) maka mengakibatkan banyak dari suku-suku di Nusantara berdatangan ke
Maluku, diantaranya adalah dari suku Buton[5],
Bugis, Makassar dan Jawa, bahkan banyak pula bangsa-bangsa di luar Nusantara
berdatangan, diantara bangsa-bangsa itu adalah Spanyol dan Protugis, kemudian
disusul oleh Inggris dan Belanda.
Dengan
kedatangan mereka ini mengakibatkan pertentangan dengan masyarakat di Kepulauan
Seribu, karena mereka beragama Islam sedangkan para pendatang asing itu
beragama Kristen, juga mereka orang-orang asing itu menyerukan kepada faham
mereka berupa kekafiran dan penglegalan kema'siatan dan perbuatan keji maka
terjadilah perlawanan dan peperangan.
Pada tahun
1637 Masehi, kerajaan Islam di jaziroh Hual Mual (Seram) bangkit melakukan
perlawanan terhadap para penjajah asing itu, dan ketika itu yang menjadi
kapitan[6] adalah
Lessiy, dari sinilah kemudian muncul marga Lessiy.
Diantara
daerah Hua Mual yang menjadi incaran dan target bangsa kafir Barat adalah Luhu
hingga ke kampung bawahannya Kambelu. Karena di Kepulauan Seribu telah dibentuk
kerajaan-kerajaan Islam dan telah ada ikatan persaudaraan seagama maka ketika
kerajaan Islam lainnya yang berada di Nusaniwe dan di kepulauan-kepulauan
lainnya mendengar bahwa di jaziroh Hual Mual (Seram) telah terjadi peperangan
melawan penjajah kafir Barat itu, maka dari tiap-tiap kerajaan mengutus bantuan
berupa bala tentara. Yang mengambil peran penting dalam memberi bantuan ini
adalah pemimpin Nusaniwe yang dia bergelar Risakotta, karena dahulunya dia
adalah termasuk salah satu kapitan di kerajaan Hual Mual (Seram).
Sangat
disayangkan dari peperangan itu tidak tercatat di dalam sejarah Nasional
tentang keberadaan pahlawan dari kerajaan-kerajaan Islam itu, malah yang
dimunculkan adalah "keanehan" dengan adanya pahlawan Nasional yang
mereka namai dengan Tomas Matulessiy, yang kaum kafir Kristen mengakui bahwa
itu adalah nenek moyang mereka.
Jikalau
pemerintah Indonesia benar-benar memperhatikan sejarah maka tentu tidak akan
dimunculkan sejarah aneh seperti itu, kaum Kristen Maluku terkhusus di Ambon,
dari awal berdirinya NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) mereka sudah
memiliki cita-cita untuk melakukan pemberontakan dengan membentuk RMS (Republik
Maluku Sarani) dan supaya mereka tidak dicurigai merekapun menjiblak dan
membuat-buat sejarah dengan adanya pahlawan Nasional dari mereka.
Abul
'Abbas Harmin bin Salim Al-Limboriy semoga Alloh merohmatinya berkata:
"Pahlawan Maluku tidak bisa dibenarkan kalau berasal dari orang-orang
Kristen". Hal demikian itu karena kemunculan dan keberadaan Kristen di
Maluku di bawa oleh para penjajah Barat.
Banyak
dari masyarakat Islam di Seram Timur yang bermarga "Lessiy"
mengatakan bahwa Patimura berasal dari negri mereka (Hual Mual), namanya adalah
Ahmad Lessiy, dan termasuk dari kebiasaan di negri mereka bila seseorang
bernama Ahmad maka mereka memanggilnya dengan nama Mat. Dan Matulessiy sendiri
terdiri dari dua kata yaitu "Mat" dan "Lessiy". Mat nama
panggilan untuk orang yang bernama Ahmad dan Lessiy adalah nama marga.
Adapun
mereka kaum kafir Kristen mengaku bahwa Patimura adalah beragama Kristen maka
ini sangat perlu untuk dipertanyakan?, karena mereka adalah paling
"parlente" (pendusta)nya manusia, karena juga mereka dari sejak
penjajahan hingga saat memiliki hubungan baik dengan bangsa penjajah, ketika
mereka ingin membebaskan diri dari NKRI dengan membentuk RMS maka yang memberi
dukungan penuh adalah para penjajah kaum kafir itu, bahkan mereka membuka
peluang belajar bagi kaum kafir Kristen Maluku ke negara-negara mereka.
C. Perkembangan Islam di Maluku
Maluku atau yang dikenal secara internasional sebagai Moluccas
adalah salah satu provinsi tertua di Indonesia. Ibukotanya adalah Ambon. Pada
tahun 1999, sebagian wilayah Provinsi Maluku dimekarkan menjadi Provinsi Maluku
Utara, dengan ibukota di Sofifi. Provinsi Maluku terdiri atas gugusan kepulauan
yang dikenal dengan Kepulauan Maluku.
Suku bangsa Maluku didominasi oleh
ras suku bangsa Melanesia Pasifik yang masih berkerabat dengan Fiji, Tonga dan
beberapa bangsa kepulauan yang tersebar di kepulauan Samudra Pasifik.
Banyak bukti kuat yang merujuk bahwa Maluku
memiliki ikatan tradisi dengan bangsa bangsa kepulauan pasifik, seperti bahasa,
lagu-lagu daerah, makanan, serta perangkat peralatan rumah tangga dan alat
musik khas, contoh: Ukulele (yang terdapat pula dalam tradisi budaya Hawaii).
Mereka umumnya memiliki kulit gelap,
rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat serta profil tubuh
yang lebih atletis dibanding dengan suku-suku lain di Indonesia,
dikarenakan mereka adalah suku kepulauan yang mana aktivitas laut seperti
berlayar dan berenang merupakan kegiatan utama bagi kaum pria.
Sejak zaman dahulu, banyak di antara mereka
yang sudah memiliki darah campuran dengan suku lain, perkawinan dengan suku
Minahasa, Sumatra, Jawa, Madura, bahkan kebanyakan dengan bangsa Eropa (umumnya
Belanda dan Portugal) kemudian bangsa Arab, India sudah sangat lazim mengingat
daerah ini telah dikuasai bangsa asing selama 2300 tahun dan melahirkan
keturunan keturunan baru, yang mana sudah bukan ras Melanesia murni lagi.
Karena adanya percampuran kebudayaan dan ras dengan orang Eropa inilah maka
Maluku merupakan satu-satunya wilayah Indonesia yang digolongkan sebagai daerah
Mestizo. Bahkan hingga sekarang banyak marga di Maluku yang berasal bangsa
asing seperti Belanda (Van Afflen, Van Room, De Wanna, De Kock, Kniesmeijer,
Gaspersz, Ramschie, Payer, Ziljstra, Van der Weden dan lain-lain) serta
Portugal (Da Costa, De Fretes, Que, Carliano, De Souza, De Carvalho, Pareira,
Courbois, Frandescolli dan lain-lain). Ditemukan pula marga bangsa Spanyol
(Oliviera, Diaz, De Jesus, Silvera, Rodriguez, Montefalcon, Mendoza, De Lopez
dan lain-lain) serta Arab (Al-Kaff, Al Chatib, Bachmid, Bakhwereez, Bahasoan,
Al-Qadri, Alaydrus, Assegaff dan lain-lain). Cara penulisan marga asli Maluku
pun masih mengikuti ejaan asing seperti Rieuwpassa (baca: Riupasa), Nikijuluw
(baca: Nikiyulu), Louhenapessy (baca: Louhenapesi), Kallaij
(baca: Kalai) dan Akyuwen (baca: Akiwen).
Dewasa
ini, masyarakat Maluku tidak hanya terdapat di Indonesia saja melainkan
tersebar di berbagai negara di dunia. Kebanyakan dari mereka yang hijrah keluar
negeri disebabkan olah berbagai alasan. Salah satu sebab yang paling klasik adalah
perpindahan besar-besaran masyarakat Maluku ke Eropa pada tahun 1950-an dan
menetap disana hingga sekarang. Alasan lainnya adalah untuk mendapatkan
kehidupan yang labih baik, menuntut ilmu, kawin-mengawin dengan bangsa lain,
yang dikemudian hari menetap lalu memiliki generasi-generasi Maluku baru di
belahan bumi lain. Para ekspatriat Maluku ini dapat ditemukan dalam komunitas
yang cukup besar serta terkonsentrasi di beberapa negara seperti Belanda,
Inggris, Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Belgia, Jerman dan berbagai benua
lainnya.
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan
Islam. Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum
Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh Kesultanan Ternate dan
Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku serta Pedagang Arab di pesisir Pulau Ambon dan sekitarnya
sebelumnya. Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah Mesjid
1.188 buah, Gereja 1.022 buah, Pura 10 buah dan Wihara 4 buah. Sedangkan
Pemeluk agama Islam sebesar 50,03 persen, Kristen Protestan sebesar 39,04
persen, Kristen Katholik 10,06 persen, Hindu 0,20 persen dan Budha 0,03 persen
dan lainnya 0,65. Pada tahun 2008, jemaah haji yang pergi ke Mekkah sebanyak
621 orang, dimana jemaah haji terbanyak berasal dari Kota Ambon sebanyak 339
orang.
Sama
seperti suku-suku bangsa lain di Nusantara, maka di Maluku juga sebelum
masuknya pengaruh agama-agama resmi (Islam dan Kristen), manusia pribumi sejak
dahulu telah berada dalam suasana pengaruh alam sekitarnya, yang turut
membentuk cara-cara berfikir dan pandangan hidup, selaku manusia alamial, yaitu
manusia yang menggantungkan hidup dan nasibnya pada kekuatan-kekuatan alam ini.
Keadaan
yang demikian dengan sendirinya megnakibatkan manusia itu tidak bebas dalam
menghadapi segala tantangan alam. Timbulnya rasa segan dan takut serta heran
terhadap segala tantangan alam membuat dia mencari jalan untuk menemui rahasia
daripada segala yang terjadi itu. Gejala kepercayaan inilah yang disebut “AGAMA
atau RELIGI”, yaitu dorongan keinginan manusia untuk mendapatkan hubungan
dengan yang di luar dia.
Masyarakat
Maluku sebelum masuknya agama Islam dan Kristen juga sudah mempunyai agama yang
dapat disebut sebagai “Kepercayaan setempat” atau Kepercayaan Asli”.
Adapun
inti daripada agama asli ini ialah kepercayaan terhadap ANIMISME dan DINAMISME.
Masyarakat masih menganut kepercayaan animism yaitu kepercayaan terhadap arwah
orang-orang yang telah meninggal, kepada magi-magi. Mereka mengangap bahwa
seluruh ala mini ada mempunyai “jiwa dan roh”. Upacara-upacara adat yang ada
dewasa ini jelas memperlihatkan hal itu. Selain animisme, mereka mengenal pula
“dinamisme”, yaitu kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak berwujud yang
menguasai segala sesuatu dan menakutkan.
Kepercayaan
dinamisme ialah kepercayaan terhadap batu-batu, pohon atau benda lain tertentu
yang dianggap mempunyai kekuatan rahasia. Ada tempat-tempat yang dianggap suci,
yang mengandung hal-hal yang tahbis, tapi ada pula tempat-tempat yang
menakutkan yang daripadanya diperoleh kekuatan gaib.
Selain
kepercayaan terhadap kekuatan-kekuatan animism dan dinamisme, masyarakat Maluku
dahulu juga sudah mengenal konsep-konsep tentang adanya satu roh tertinggi
sebagai pencipta segala sesuatu. Jadi kepercayaan terhadap semacam Tuhan.
Mengenai
penyebaran Islam di Maluku, penulis hanya membatasi pembahasan yaitu hanya
seputar sejak kapan dan bagaimana proses masuknya Islam ke Maluku? Siapa yang
menyebarkannya? Dan bagaimana perkembangannya?. Bedasarkan dugaan awal, bahwa
Islam masuk ke daerah Maluku di bawa oleh para pedagang Islam yang singgah di
Nusantara.
D. Deskripsi Wilayah Maluku
Sesuai Surat Keputusan Gubernur No. 1475 Tahun 2004 tentang
Penetapan Jumlah, Nama dan Nomor Kode Wilayah Administrasi Pemerintahan
Provinsi Maluku tahun 2004, secara administratif, Provinsi Maluku terdiri dari
7 (tujuh) kabupaten dan 1 (satu) kotamadya, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara
Barat, Kabupaten Maluku Tenggara, Kabupaten Maluku Tengah, Kabupaten Buru,
Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat, Kabupaten Seram Bagian
Timur, dan Kotamadya Ambon. Dan terdiri dari 64 Kecamatan, 886 Desa/Kelurahan.
Pada
tahun 2000 jumlah penduduk di Provinsi Maluku tercatat sebanyak 1.200.067 jiwa
(hasil sensus penduduk 2000), sedangkan sesuai hasil registrasi penduduk 2004 -
2006 jumlah penduduk tercatat 1.313.022 jiwa pada tahun 2004, dan tahun 2005 mencapai
1.350.156 jiwa, dan pada tahun 2006 menjadi 1.384.585 jiwa. Tercatat laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,91% per tahun.
Angka
pertumbuhan penduduk antara 8 kabupaten/kota sangat bervariasi. Kabupaten Buru
dan Maluku Tenggara mengalami penurunan jumlah penduduk selama tahun 2000 -
2005, sementara kabupaten lainnya mengalami peningkatan jumlah penduduk. Bahkan
Kota Ambon mengalami peningkatan yang cukup tajam, yaitu mencapai 4,98%.
Penyebaran
penduduk di Provinsi Maluku sangat tidak merata. Berdasarkan hasil Registrasi
Penduduk 2006 persentase penduduk Kabupaten Maluku Tengah Tercatat lebih tinggi
dari Kabupaten yang lain yaitu 25,81%, sementara Kabupaten Aru hanya mencapai
5,23%.
Luas
wilayah Provinsi Maluku secara keseluruhan adalah 581.376 km2, terdiri
dari luas lautan 527.191 km2 dan luas daratan 54.185 km2.
Dengan kata lain sekitar 90% wilayah Provinsi Maluku adalah lautan.
Provinsi
Maluku terletak antara 20dan 30 menit sampai 90Lintang
Selatan dan 124 - 136 derajat Bujur Timur.
Provinsi
Maluku merupakan daerah kepulauan yang terdiri dari 559 pulau, dan dari jumlah
pulau tersebut terdapat beberapa pulau yang tergolong pulau besar.
E.
Masuknya Islam Di Maluku
Bentuk dan motivasi masuknya Islam ke Maluku
tidak bisa dibicarakan lepas dari bentangan perjalanannya dari Malaka dan Jawa.
Mengambil titik berangkat dari situ, berarti kita diajak untuk melihat
metode-metode dasar yang dipakai para khalifah, yakni melalui tindakan ekonomi
(perdagangan). Tetapi kemudian bagaimana mereka berhasil mengadaptasi diri di
dalam masyarakat, dan membangun komunikasi dengan para pemimpin lokal di suatu
wilayah (aspek politik), serta juga menggunakan mekanisme-mekanisme kebudayaan
sebagai cara mengadaptasi diri secara efektif (aspek kebudayaan).
Setidaknya, dari sisi metode kebudayaan,
setiap jejak yang ditinggalkan Islam di satu daerah juga meninggalkan bukti
bahwa Islam sangat intens berdialog dengan kebudayaan masyarakat setempat.
Contoh paling sederhana adalah ketika ada peninggalan mesjid-mesjid yang khas
Jawa, Banten, atau juga mesjid-mesjid yang khas Maluku (seperti Mesjid Wapauwe
di Hila).
Titik berangkat itu yang membuat pertemuan
Islam dengan Kerajaan Ternate berlangsung tanpa masalah yang berarti. Kerangka
kebudayaan orang-orang Ternate malah dijadikan sebagai batu loncatan dalam
melebarkan ajaran-ajaran Islam sampai ke pelosok-pelosok. Para ulama lokal,
malah nekat bertandang ke Gresik dan Tuban untuk memperdalam ilmu Islam, dan
kembali menyebar Islam di negerinya itu.
Pendekatan yang sama pun digunakan ketika
Islam mulai masuk ke Ambon, melalui Hitu. Dialog yang intens dengan kebudayaan
kembali terjadi di situ. Dan itu merupakan bukti bahwa perdagangan atau aspek
ekonomi hanya menjadi instrumen yang mendorong Islam bergerak dari suatu tempat
ke tempat lain, tetapi kebudayaan menjadi instrumen yang membangun rasa
keislaman yang tinggi di dalam hidup masyarakat.
Kemudian, ketika Islam masuk ke Indonesia
kekuatan koloni Eropa belum bergerak, atau dominasi perdagangan rempah-rempah
masih dipegang oleh pedagang Cina dan Arab. Ketika masuk ke Indonesia, Islam
merajai jalur-jalur perdagangan yang penting seperti: pesisir Sumatera di selat
Malaka, semenanjung Malaya, pesisir utara Jawa, Brunei, Sulu dan Maluku. Jalur
perdagangan kayu cendana di Timor dan Islam masih tetap menjadi wilayah
non-Islam, dan kurang diminati pada pedagang Islam.
Walau begitu, ketegangan di kerajaan-kerajaan
lokal di Maluku, seperti di Ternate tidak bisa diabaikan sebagai bagian dari
fakta sejarah ketika Islam berjumpa dengan masyarakat di sana. Tetapi satu hal
yang menarik adalah Islam Maluku yang terbentuk dari Ternate itu kemudian
meluas ke pulau Ambon, dan terbentuk suatu Pan-Islami, yang terus berkembang ke
daerah Lease. Seiring dengan itu, kerajaan Iha di Saparua menjadi simbol
kekuatan Islam baru di Maluku Tengah, selain Hitu.
Islamisasi Ternate, Hitu, Lease sebenarnya
berlangsung secara wajar karena kekuatan perdagangan Islam mulai terbentuk di
kawasan itu. Paramitha Abdoerachman mengatakan Hitu menjadi penting karena
banyak pedagang mendapat pasokan air tawar dari situ. Fakta ini pun sebenarnya
sama dengan ketika Banda menjadi bandar Islam yang cukup penting, karena
pasokan ikan yang enak kepada para pedagang.
Politik damai itu melahirkan simpati kelompok
lokal yang semula memeluk agama asli (agama suku) menjadi penganut Islam yang
rajin. Bahkan hal itu pun terlihat ketika negeri-negeri Hatuhaha Amarima
kemudian menjadi pusat kemashyuran Islam tertua di Lease. Untuk yang satu ini
memang perlu penelitian lebih mendalam, sebab Islam Hatuhaha Amarima memiliki
tatanan ritus Islami yang khas dan kontekstual, seperti ritus Puasa dan Haji.
Di Maluku kita akan menemui bagaimana
orang-orang Islam Tulehu, Liang, Tial, Hila, Latu, Kasieh, Lisabata, Pelauw,
Ori, Kailolo, Iha, menggunakan bahasa ibu mereka dalam komunikasi sesehari.
Bahasa Arab menjadi bahasa agama yang digunakan dalam upacara sakral agama,
tetapi kesehariannya menggunakan bahasa setempat. Fenomena ini tidak lagi
ditemui pada negeri-negeri Kristen, kecuali di Maluku Tenggara, tetapi juga sudah
mulai ditinggalkan oleh generasi mudanya.
Pada sisi ini, Islam Maluku adalah suatu hasil
adaptasi kebudayaan yang sangat penting. Dalam adaptasi itu bagaimana struktur
bahasa setempat dijadikan sebagai mekanisme penyebaran ajaran agama, dan
ditempatkan sebagai unsur yang penting.
Hal ini yang membuat corak kultural di dalam
Islam begitu kuat, karena itu agamanya menjadi gampang diterima dan dipandang
sebagai agama yang “membawa damai”. Unsur kedamaian yang dirasakan itu adalah
ketika masyarakat tetap berkomunikasi dengan bahasanya, sehingga mereka tidak
merasa teralienasi dari kelompok besar.
Memang dalam menentukan corak kultural kepada
Islam Maluku kita perlu mempertimbangkan kembali beberapa hal seperti,
sejauhmana Islam Maluku itu memanfaatkan ritus-ritus adat sebagai suatu bentuk
kontekstualisasinya. Orang Islam, menurut Chauvel, memang tidak suka dengan
struktur raja seperti diintroduksi oleh Eropa, dan karena itu malah menganggap
[sebagian dari] adat sebagai yang mengandung unsur kafir dan haram.
Tetapi adaptasi Islam Maluku ke dalam bahasa
setempat memperlihatkan suatu corak beragama yang unik.
Agama
Islam memasuki kepulauan Maluku jelas melalui pedagang-pedagang dan
mubalig-mubalig Islam yang ikut bersama mereka. Mengenai tanggal waktu yang
tepat dan di daerah mana mula-mula agama ini masuk dan berkembang tidak/belum
dapat dipastikan. Namun yang jelas ialah bahwa kira-kira pada abad pertengahan
ke 15 agama Islam ini sudah dianut dan bertumbuh pada kerajaan-kerajaan di
Maluku Utara.
Menurut
Sejarah, pada abad ke 10 dan abad ke 11 sudah ramai perniagaan rempah-rempah di
Kepulauan Maluku, terutama cengkeh dan pala, yang dilakukan orang Arab dan
Persia.
Diceritakan bahwa di Ternate telah datang seorang ulama Islam
yang bernama Datu Maulana Husein. Ulama ini sangat pandai membaca Al-Qur’an
dengan suara yang merdu dan menarik, sehingga penduduk yang mendengarkannya
jadi tertarik. Sebelum penduduk diajarkan membaca Al-Qur’an, diharuskannya
mengucapkan dua kalimat syahadat, sehingga sejak saat itu mulailah
penduduk Ternate masuk dan menerima Islam sebagai agamanya.
Atas ajakan Datu Maulana Husein, maka raja Ternate saat itu,
Gapi Buta menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Zainal Abidin
(14651486 M) yang setelah mangkat baginda disebut Sultan Marhum pada tahun 1486
M.
Sumber sejarah lama dan cerita rakyat secara tradisonal
menyebutkan bahwa semua sultan yang memerintah di empat kerajaan utama di
Maluku Utara, berasal dari keturunan Jafar Sadik, seorang bangsa Arab keturunan
Nabi Muhammad saw. Jafar Sadik kawin dengan puteri Nur Safah, yang tiba di
Ternate pada tanggal 10 Muharram 470 H (kira-kira 1015 M). selanjutnya
diceritakan bahwa dari perkawinan ini mereka dikaruniai delapan orang anak,
empat putra dan empat putri. Keempat putra ini menjadi sultan-sultan pertama
dari keempat kerajaan yaitu Ternate, Tidore, Jailolo dan Bacan.
- Kerajaan Bacan,
sultan pertamanya adalah Kaitjil Buka.
- Kerajaan Ternate,
sultan pertamanya adalah Sultan Masyhur Malamo. Sultan ke-44 yaitu sultan
terakhir adalah Sultan Iskandar Muhammad Jabir.
- Kerajaan Tidore,
yang menjadi sultan pertama adalah Sultan Suhadjati, bergelar Muhammad
Bakil pada tahun 502 H. sultan ke-35 (sekarang) adalah Sultan Zainal
Abidin Alting yang dinobatkan pada tahun 1366 H/1947 M.
- Kerajaan Jailolo,
sultan pertamanya adalah Darajati. Sultan ke-16 (yang terakhir) adalah
Sultan Tolabuddin.
Menilik
berita yang dibawakan oleh pengembara Arab di zaman itu, di antaranya berita
dari pengembara al-Mas’udi, maka orang Arab memang telah sampai ke Timur Jauh
pada abad 6, abad 7, dan 9, dan seterusnya. Sebelum penjajah Portugis, orang
Arablah yang memegang kendali perniagaan di Selat Malaka sampai ke Tionkok. Di
Canton telah didapati orang-orang Arab dan pos perniagaan mereka.
Kemudian Kerajaan Ternate dan Tidore merupakan dua
kerajaan di kepulauan Maluku. Dalam sejarah perkembangannya, kedua kerajaan
tersebut bersaing untuk memperebutkan kekuasaan politik dan ekonomi. Tidak
jarang mereka melibatkan kekuatan-kekuatan asing, seperti Portugis, Spanyol dan
Belanda. Kekuatan-kekuatan asing tersebut dalam perkembangannya berambisi pula
untuk menguasai secara monopoli perdagangan rempah-rempah di kawasan ini.
Persaingan antara kerajaan Ternate dan Tidore diperburuk dengan ikut campurnya
bangsa Portugis yang membantu Ternate dan bangsa Spanyol yang membantu Tidore.
Setelah memperoleh keuntungan, kedua bangsa barat tersebut bersepakat untuk
menyelesaikan persaingan mereka dalam Perjanjian Saragosa ( 22 April
1529). Hasil perjanjian tersebut, Spanyol harus meninggalkan Maluku dan
menguasai Philipina, sedangkan Portugis tetap melakukan perdagangan di
kepulauan Maluku.
Walaupun sedang bersaing memperebutkan hegemoni di
kawasan tersebut, kerajaan-kerajaan di Maluku tetap tidak menginginkan
bangsa-bangsa barat mengganggu kegiatan perdagangan di kawasan tersebut. Hal
itu merupakan salah satu ciri kerajaan-kerajaan Islam di Maluku. Oleh karena
itu, mereka selalu mengadakan perlawanan terhadap kekuasaan asing. Misalnya,
perlawanan yang dilakukan oleh Sultan Hairun (1550 – 1570 M) dan
perlawanan Sultan Baabullah (1570-1583). Perlawanan yang terakhir ini
mampu memaksa bangsa Portugis meninggalkan Maluku dan memindahkan kegiatannya
ke Timor Timur (sekarang Timor Leste). Adapaun perlawanan terhadap Belanda
dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Nuku (1780 – 1805
M).
Di
Tidore datang pula sorang pendakwah alim dari tanah Arab bernama Syekh Mansur.
Atas ajakan Syekh Mansur ini, maka Raja Tidore yang bernama Kolano Giriliyati
masuk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Jamaluddin.
Dalam
penyebaran Islam ke Sulu dan Mindanau, Kesultanan Ternate berperan besar.
Menurut berita bangsa Spranyol, pada tahun 1857 M penyebar-penyebar Islam ke
Mindanau itu datang dari Brunei dan Ternate. Di Mindanau para penyebar Islam
ini mendirikan madrasah dan masjid.
Masuknya
Islam di daerah Pulau Seram Barat adalah dimulai dari daerah Latu dan Bualoy.
Disebtukan bahwa pnyebar Islam di daerah ini adalah Maulana Zainal Abidin.
Pemeluk
Islam pertama adalah Kapiten Nunusaku (Kapitan Iho Lussy) yang berguru kepada
Maulana Zainal Abidin, setelah Iho Lussy memperoleh ilmu agama Islam yang
cukup, maka ia pun aktif berdakwah seperti gurunya. Sebagian besar penduduk di
daerah Seram memeluk agama Islam adalah berkat jasa kedua pendakwah ini.
Setelah Kapitan Iho Lussy wafat maka tugas dakwah Islam dilanjutkan oleh
anaknya yaitu Muhammad Lussy.
Masuknya
Islam didaerah Maluku Tengah adalah melalui pedagang Islam yang datang dari
Jawa Timur. Pusat Islam di Jawa Timur sesudah runtuhnya Majapahit adalah
Gresik. Dari Gresik inilah datang ulama Islam bersama para pedagang ke Pulau
Ambon, dan mereka semua berpusat di kota pelabuhan Hitu. Jadi, Hitu menjadi
pusat penyebaran Islam pada daerah sekitarnya pada tahun 1500 M. diduga
masuknya Islam di Pulau Kei pada tahun 1500 M.
Diperkenalkannya
agama Islam kepada penduduk Maluku mengakibatkan timbulnya proses Islamisasi.
Proses religious cultural ini berpengaruh pada bidang politik pemerintahan
sehingga timbul Kerajaan Islam. Islam juga memperkaya hukum adat setempat.
Hukum Islam Nampak bergandengan dengan hukum adat. Penggunaan huruf Arab oleh
raja-raja, bangsawan, dan penduduk setempat memperkaya pula bahasa daerah. Dari
sudut kultur, agama Islam ikut pula menentukan corak kebudayaan masyarakat
Maluku yang bercorak Islam.
Pada
tahun 1564 M telah disepakati suatu perjanjian oleh Portugis dan Ternate. Untuk
mereayakan penandatanganan perjanjian ini, Portugis mengundang Sultan Khairun
untuk datang ke kapal Portugis. Yang tidak disukai oleh Sultan Khairun adalah
usaha Kristenisasi oleh orang Portugis terhadap rakyatnya yang sudah memeluk
Islam. Di saat perjamuan di atas kapal Portugis itu, Sultan Khairum ditikan
secara keji oleh salah seorang pengawal/adik dari Gubernur De Mesquite sehinga
beliau tewas.
Setelah
kejadian ini, putra Sultan Khairun, yaitu Babullah naik tahta menggantikannya.
Sultan Babullah (1570-1583 M) memaklumkan perang kepada Portugis. Sultan Tidore
berdiri di belakang Ternate. Benteng pertahanan Portugis di Ambon diserbu
pasukan Sultan Babullah sehingga bedera Portugis di sini diturunkan orang
Ternate/ Tidore dari bentengnya. Kemudian benteng Portugis ini dibakar hingga
habis dan orang Portugis yang masih hidup menyingkir ke Malaka.
Sampai
tahun 1580 M Ternate dengan Sultan Babullah telah meluaskan kekuasannya ke
pulau-pulau sekelilingnya sehingga membentang dari Pulau Mindanau (Filiphina)
sampai ke Sumbawa (ini dari utara ke selatan) dan dari Irian ke Sulawesi (dari
timur ke barat) termasuk Pulau Buton. Juga Ternate mengirimkan para pendakwah
untuk mengajak masuk Islam kepada Buton, Makassar (Ujung Pandang), dan Gowa di
Sulawesi. Sultan Babullah mangkat pada tahun 1583 M.
Masjid
sebagai bangunan-bangunan sacral dari agama Islam mulai dikenal di Maluku
meskipun corak bangunannya itu sendiri mempunyai corak Indonesia dengan atap
yang bersusun. Dengan demikian dilihat dari sudut kultur, maka agama Islam
turut menentukan corak kebudayaan di daerah Maluku, yaitu kebudayaan yang
bercorak Islam.
F. Nasehat untuk kaum muslimin
di Maluku
Dengan
melihat bahwasanya Islam masuk ke Kepulauan Seribu dibawa oleh para pedagang
maka hendaknya masyarakat berpikir, karena kita ketahui bersama bahwa para
pedagang memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan para penuntut ilmu agama,
oleh karena itu kami nasehatkan kepada masyarakat Islam di Maluku untuk
memperbaiki agama mereka yang pernah mereka dapatkan dari nenek moyang mereka, dan
janganlah mereka memiliki sifat taqlid (ikut-ikutan)
sebagaimana yang dilakukan oleh kaum musyrikin di zaman terdahulu, Alloh Ta'ala berkata
tentang mereka bila diperintahkan untuk mentauhidkan Alloh dan mentaati-Nya
maka jawaban mereka:
{وَمَا
سَمِعْنَا بِهَذَا فِي آبَائِنَا الْأَوَّلِينَ} [القصص: 36]
"Tidaklah
kami mendengarkan ini pada nenek moyang kami terdahulu". (Al-Qoshshosh:
36).
Kami nasehatkan kepada kaum
muslimin terkhusus masyarakat Maluku untuk mendalami ilmu agama. Kabar gembira
bagi kaum muslimin Maluku bahwa kalian tidak lagi membutuhkan perjalanan jauh,
cukup bagi kalian hanya mengendarai kendaraan atau hanya dengan menyebrangi
lautan menuju Hual Mual Belakang (Seram Barat) kalian akan mendapati bahwa di
sana terdapat kampung Limboro, di kampung inilah terdapat para da'i dan
penuntut ilmu agama Islam, ada dari mereka yang masih memiliki hubungan
kekeluargaan dengan marga "Nurlette"[7],
kalian bisa menimba ilmu kepada mereka, dengan itu kalian akan memperoleh
kebaikan dalam kehidupan ini, Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam berkata:
«مَنْ
يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ»
"Barangsiapa
yang diinginkan kebaikan oleh Alloh maka dia akan difahamkan tentang
agama". Diriwayatkan oleh
Asy-Syaikhon dari hadits Mu'awiyyah.
Tidak
perlu bagi kalian bertanya apakah di sana ada pondok pesantren ataukah tidak?,
bukanlah ukuran adanya pondok pesantren, namun yang menjadi patokan adalah
ilmu, kalaupun di sana sudah ada pondok pesantren maka itu hanyalah pendukung
untuk mempermudah proses belajar mengajar, namun sekali lagi bahwasanya ilmu
bisa dipelajari dan ditimba dari siapa saja yang memiliki ilmu, Nabi Musa
bersama muridnya Yusya' mencari Nabi Khidir, Nabi Musa belajar ilmu dan
mengambil faedah dari Nabi Khidir ketika diperjalanan, terkadang di atas perahu
dan terkadang pula ketika berjalan kaki atau ketika bekerja membangun tembok
milik anak yatim sebagaimana yang Alloh Ta'ala terangkan di
dalam surat Al-Kahfi.
Maka
bukan suatu kehinaan bila ada dari para pemuda datang ke Limboro belajar ilmu
agama Islam, bisa belajar di masjid atau di rumah ustadz, atau bisa pula
mengambil faedah ilmiyyah dari ustadz ketika sedang bekerjasama di perkebunan
cengkeh[8],
pala, kopi atau coklat atau ketika di dalam kebun jagung, ubi-ubian atau
sayur-sayuran, sebagaimana dahulu Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa
Sallam mengajari dan memberi faedah ilmiyyah kepada para shohabatnya
ketika diperjalanan dan ketika mukim, ketika sedang gotong royong,
Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam selalu menyisihkan
waktunya dengan menyampaikan ilmu, bahkan terkadang Rosululloh Shollallohu
'Alaihi wa Sallam masuk keluar pasar untuk jual beli bersamaan dengan
itu beliau menyempatkan diri memberi nasehat dan memberi faedah ilmiyah kepada
umat manusia, bahkan beliau ketika sedang khutbah (ceramah) beliau mengangkat
tinggi suaranya sehingga manusia yang berada di pasar mendengarkan khutbahnya,
An-Nu'man bin Basyir berkata:
"سَمِعْتُ
رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَخْطُبُ يَقُولُ:
«أَنْذَرْتُكُمُ النَّارَ، أَنْذَرْتُكُمُ النَّارَ»، حَتَّى لَوْ أَنَّ رَجُلًا
كَانَ بِالسُّوقِ، لَسَمِعَهُ".
"Aku mendengar
Rosululloh Shollallohu 'Alaihi wa Sallam ketika beliau
berkhutbah, beliau berkata: "Aku peringatkan kalian dari neraka, aku
peringatkan kalian dari neraka", sampai kalaulah seseorang berada di
pasar maka sungguh dia akan mendengarkan peringatannya". Diriwayatkan oleh
Ahmad dengan sanad hasan.
Semoga Bermanfaat
Jangan lupa beri saran dan masukannya ya..
salam Tukang Copas
NB : Bukan Hasil Copas, Teks Asli Admin
EmoticonEmoticon