UU Anti Korupsi |
UU Anti Korupsi
A. Korupsi
Istilah
“korupsi” mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Devinisi
ini tidak hanya mencakup korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi juga
korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan
kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor, memaikai
sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status atau wewenangnya yang resmi
untuk keuntungan pribadi.[1]
Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit)
yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti,
hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya
kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat
merugikan keuangan negara.
B. Awal
Terbentuknya UU Anti Korupsi
1.
Peraturan Sementara
Di negara kita
ini telah banyak terjadi perbuatan-perbuatan yang dapat dinamakan korupsi sejak dulu. Maka dipandang perlu segera
menetapkan tata cara kerja untuk mengatasi pemberantasan perbuatan korupsi
dengan dikeluarkannya peraturan yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala
Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan
Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I./17
tanggal 17 April 1958.
Menurut kedua macam peraturan tentang korupsi di golongkan pada dua
macam yaitu: perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi bukan pidana. Yang dimaksud dengan “perbuatan
korupsi pidana”, apabila terjalin unsur-unsur pelanggaran sehingga dapat
dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup berat di samping
perampasan harta benda hasil korupsinya. Sedangkan “perbuatan korupsi bukan
pidana”, apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Maksud perbuatan
melawan hukum yakni: perbuatan atau kelalaian seseorang yang melanggar hak
orang lain atau bertentangan kewajibannya sendiri menurut hukum atau norma-norma
adat yang lazim. Harta benda
hasil perbuatan inilah yang dapat dirampas oleh Pengadilan Tinggi.
Kedua peraturan yang dikeluarkan oleh Peperpu itu adalah peraturan
sementara. Karena pada waktu sangat mendesak diperlukan adanya suatu peraturan
untuk dapat dijadikan dasar hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi.[2]
2.
Peraturan Pemberantasan Korupsi 1960
Pada akhirnya dipahami oleh penguasa bahwa korupsi dapat dilakukan
kapan saja, sehingga pemerintah mengganti dengan peraturan yang berbentuk undang-undang.
Pada tanggal 9 Juni 1960 ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan,
Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang disebut “peraturan
pemberantasan korupsi 1960” yang kemudian dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1961 pada tangal 1 Januari 1961 ditetapkan menjadi Undang-undang
atau “Undang-Undang Anti Korupsi”.[3]
Hal yang baru dalam undang-undang ini adalah ditariknyaa beberapa
pasal dari KHUP ke dalam undang-undang, menjadi satu jenis dengan tindak pidana
korupsi dan diberi ancaman hukuman yang berat yaitu dua belas tahun penjara
dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Sebelum adanya undang-undang ini, istilah “tindak pidana
korupsi” boleh dikatakan belum ada.
Jadi bisa dikatakan bahwa undang-undang inilah yang pertama kali melansir “tindak
pidana korupsi”.[4]
Kemudian ternyata undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 dinilai belum
dapat disebut sebagai efektif dalam menangkal atau memberantas tindak pedana
korupsi sehingga tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan.[5]
3.
UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971
Presiden dengan suratnya No. R-07/P.U/VIII/70 tanggal 13 Agustus
1970 telah menyerahkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK)
kepada DPR RI. Kemudian
disetujui dan dikenal dengan
nama Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dan diumumkan dalam Lembaran Negara No. 19 tahun 1971 yang meruapakan pengganti dari Undang-Undang No.
24 Prp. Tahun 1960.[6]
Undang-udang yang dimulai berlaku pada tanggal 29 Maret 1971
tersebut diciptakan dengan pertimbangan bahwa:
a.
Perbuatan-perbuatan korupsi sangat
merugikan keungan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional
b.
UU no.
24 Prp. Tahun 1960 kurang mencukupi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan
oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.[7]
4.
UU PTPK 1999
Kemudian pada tahun 1999 dibuatlah kembali UU PTPK
yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 yang sudah ada, karena UU yang lama sudah
dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi negara. Selanjutnya UU ini disebut
dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi yang
dipakai hingga saat ini.
C. Sebab-sebab Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi dalam buku yang berjudul “Strategi
Pemberantasan Korupsi” yang diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan, antara lain :
1.
Aspek Individu Pelaku
a.
Sifat tamak manusia
b.
Moral yang kurang kuat
c.
Penghasilan yang kurang mencukupi
d.
Kebutuhan hidup yang mendesak
e.
Gaya hidup konsumtif
f.
Malas atau tidak mau bekerja
g.
Ajaran agama yang kurang diterapkan
2.
Aspek Organisasi
a.
Kurang adanya sikap keteladanan
pimpinan
b.
Tidak ada kultur organisasi yang
benar
c.
Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang
memadai
d.
Kelemahan sistem pengendalian manajemen
e.
Manajemen
cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi
3.
Aspek Tempat Individu dan Organisasi
Berada
a.
Budaya masyarakat
b.
Kurang menyadari dampak korupsi.
c.
Masyarakat kurang menyadari bila
dirinya terlibat korupsi.
d.
Masyarakat kurang menyadari perannya dalam mendukung pemerintah memberantas
korupsi
D. Jenis Korupsi
Menurut buku KPK, tindak pidana korupsi dikelompokkan
menjadi 7 macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.
Perbuatan
yang Merugikan Negara
2.
Suap
- menyuap
3.
Penyalahgunaan
Jabatan
4.
Pemerasan
5.
Korupsi
yang berhubungan dengan kecurangan
6.
Korupsi
yang berhubungan dengan pengadaan
7.
Korupsi
yang berhubungan dengan gratifikasi (hadiah)
Jenis korupsi yang lebih operasional
juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan
sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu:
1.
Korupsi
ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada
penguasa.
2.
Korupsi
manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi
kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang
menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3.
Korupsi
nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan,
pertemanan, dan sebagainya.
4.
Korupsi
subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang
untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah pungutan liar, penyuapan, pemerasan,
penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan
jabatan atau profesi seseorang.
E. Indikator Korupsi
Dalam UU No. 31 Tahun 1979, agar seseorang dapat didakwa dan
dituntut telah melakukan suatu tindak pidana korupsi jika
disyaratkan adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang
yang bersangkutan. Yaitu perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri/orang
lain/suatu badan yang dapat merugikan keuangan negara. Perbuatan itu dikatakan telah
melawan hukum (UU) sehingga
dikatakan sebagai korupsi.[8]
F.
Contoh Kasus
Korupsi
Dari beberapa teori yang sudah dipaparkan diatas maka untuk
menguatkan teori dirasa perlu untuk memberikan contoh perilaku korupsi dalam
dunia nyata. Berikut ini adalah contoh nyata korupsi yang ada di Indonesia:
1.
Kasus Korupsi Akil Mochtar (Mantan Ketua
Mahkamah Konstitusi)
Pengadilan Tipikor Jakarta menggelar sidang dengan
Akil Mochtar (20/04/2014). Dalam berkas yang dibacakan, Akil menerima
masing-masing sekitar 3 miliar, 1 miliar, 10 miliar, 19 miliar, 500 miliar
terkait permohonan keberatan atas hasil pilkada Kab. Gunung Mas, Lebak, Lawang,
Palembang, dan Lampung Selatan. Atas perbuatannya Akil diancam Pasal 12 huruf c
UU no 31/1999.
Akil juga didakwa menerima gratifikasi 1 miliar, 3
miliar, 2 miliar, 10 miliar yang diberikan untuk memengaruhi putusan perkara
pemohonan keberatan atas hasil pilkada kab. Buton, Pulau Morotai, Tapanuli
Tengah dan Jawa Timur. Akil diancam Pasal 12 Huruf c UU No. 31/1999.
Akil didakwa menyalahgunakan kekuasaannya dengan
memaksa seseorang memberikan, membayar atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya.
Akil meminta Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem memberikan 125 jt sebagai ongkos
karena telah berkonsultasi mengenai hasil pilkada di Merauke dan Asmat. Sehingga
dijerat pasal 12 huruf e UU no 31/1999.
Selanjutnya Akil didakwa menerima hadiah sejumlah 7,5
miliar dari Wawan karena kekuasaan selaku hakim MK terkait pemohonan keberatan
hasil pilkada, dalam perkara ini dijerat pasal 11 UU no. 31/1999.
Dari semua dakwaan itu, Akil diberikan ancaman hukuman
paling tinggi yaitu 20 tahun penjara.
2.
Kasus Korupsi PT Giri Jaladhi Wana (GJW)
PT Giri ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara
korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010 lalu. PT
Giri yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar mulai tahun 2004 sampai 2007 dan
terbukti tidak pernah membayar uang pengelolaan kepada kas Daerah Pemerintah
Kota Banjarmasin.
Jumlah yang tidak disetorkan adalah 7,6 miliar dari
2004 sampai 2007. Padahal sewaktu menjadi pasar tradisional pemerintah kota
menerima retribusi sebesar 800 juta per tahunnya, namun setelah dibangun
menjadi pasar modern malah kehilangan uang dari hasil pengelolaan pasar yang
dikelola PT Giri.
PT Giri dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan
Tinggi Tipikor Banjarmasin tanggal 10 Agustus 2011. PT Giri bersalah melakukan
korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 juncto pasal 20
UU Tipikor.
Dalam keputusan, Dirut PT Giri yaitu Stephanus Widagdo
dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta membayar uang pengganti 6,3 miliar.
Kemudian PT Giri juga dijatuhi hukuman penutupan sementara selama 6 bulan dan
membayar denda 1,3 miliar.
G. Referensi
Hakim, Lukmanul. 2014. “Inilah Deretan Pasal dan Tindak Pidana yang
Disangkakan pada Akil”. http://www.solopos.com/2014/02/20/kasus-akil-mochtar-inilah-deretan-pasal-dan-tidak-pidana-yang-disangkakan-pada-akil-491116
(diakses pada 15 November 2017).
Lubis, Mochtar
dan James C. Scott. 1990. Korupsi Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Saleh, K. Wantjik. 1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta:
GHALIA Indonesia.
Soepardi, Prapto.
1990. Tindak Pidana Korupsi. Surabaya: Usaha Nasional.
t.n. 2013. “Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da86bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor
(diakses pada 15 November 2017).
[1] Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1990, Korupsi Politik,
Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, hlm. 49.
[2] K. Wantjik
saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: GHALIA
Indonesia, hlm. 29.
[3] Prapto Soepardi, 1990, Tindak
Pidana Korupsi,
Surabaya: Usaha Nasional, hlm. 16.
[4] K. Wantjik
saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: GHALIA
INDONESIA, hlm. 32.
[5] Prapto
Soepardi, Op.Cit., hlm. 17.
[6] Ibid.
[7] K. Wantjik
saleh, Op.Cit., hlm. 36.
[8] Prapto
Soepardi, Op.Cit., hlm. 18.
EmoticonEmoticon