Monday, February 11, 2019

UU Anti Korupsi

Tags

putuskan rantai korupsi undang undang UU anti korupsi
UU Anti Korupsi

UU Anti Korupsi


A.       Korupsi
Istilah “korupsi” mengacu pada pemakaian dana pemerintah untuk tujuan pribadi. Devinisi ini tidak hanya mencakup korupsi moneter yang konvensional, akan tetapi juga korupsi politik dan administratif. Seorang administrator yang memanfaatkan kedudukannya untuk menguras pembayaran tidak resmi dari para investor, memaikai sumber pemerintah, kedudukan, martabat, status atau wewenangnya yang resmi untuk keuntungan pribadi.[1]
Korupsi pada hakekatnya berawal dari suatu kebiasaan (habit) yang tidak disadari oleh setiap aparat, mulai dari kebiasaan menerima upeti, hadiah, suap, pemberian fasilitas tertentu ataupun yang lain dan pada akhirnya kebiasaan tersebut lama-lama akan menjadi bibit korupsi yang nyata dan dapat merugikan keuangan negara.

B.       Awal Terbentuknya UU Anti Korupsi
1.         Peraturan Sementara
Di negara kita ini telah banyak terjadi perbuatan-perbuatan yang dapat dinamakan korupsi sejak dulu. Maka dipandang perlu segera menetapkan tata cara kerja untuk mengatasi pemberantasan perbuatan korupsi dengan dikeluarkannya peraturan yaitu Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Darat tanggal 16 April 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 dan Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.I./17 tanggal 17 April 1958.
Menurut kedua macam peraturan tentang korupsi di golongkan pada dua macam yaitu: perbuatan korupsi pidana dan perbuatan korupsi bukan pidana. Yang dimaksud dengan “perbuatan korupsi pidana”, apabila terjalin unsur-unsur pelanggaran sehingga dapat dipidana dengan hukuman badan dan/atau denda yang cukup berat di samping perampasan harta benda hasil korupsinya. Sedangkan “perbuatan korupsi bukan pidana”, apabila terdapat unsur perbuatan melawan hukum. Maksud perbuatan melawan hukum yakni: perbuatan atau kelalaian seseorang yang melanggar hak orang lain atau bertentangan kewajibannya sendiri menurut hukum atau norma-norma adat yang lazim. Harta benda hasil perbuatan inilah yang dapat dirampas oleh Pengadilan Tinggi.
Kedua peraturan yang dikeluarkan oleh Peperpu itu adalah peraturan sementara. Karena pada waktu sangat mendesak diperlukan adanya suatu peraturan untuk dapat dijadikan dasar hukum dalam melakukan pemberantasan korupsi.[2]

2.         Peraturan  Pemberantasan Korupsi 1960
Pada akhirnya dipahami oleh penguasa bahwa korupsi dapat dilakukan kapan saja, sehingga pemerintah mengganti dengan peraturan yang berbentuk undang-undang. Pada tanggal 9 Juni 1960 ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 24 tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi yang disebut “peraturan pemberantasan korupsi 1960” yang kemudian dengan Undang-undang No. 1 Tahun 1961 pada tangal 1 Januari 1961 ditetapkan menjadi Undang-undang atau “Undang-Undang Anti Korupsi”.[3]
Hal yang baru dalam undang-undang ini adalah ditariknyaa beberapa pasal dari KHUP ke dalam undang-undang, menjadi satu jenis dengan tindak pidana korupsi dan diberi ancaman hukuman yang berat yaitu dua belas tahun penjara dan/atau denda setinggi-tingginya satu juta rupiah.
Sebelum adanya undang-undang ini, istilah “tindak pidana korupsi” boleh dikatakan belum ada. Jadi bisa dikatakan bahwa undang-undang inilah yang pertama kali melansir “tindak pidana korupsi”.[4]
Kemudian ternyata undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 dinilai belum dapat disebut sebagai efektif dalam menangkal atau memberantas tindak pedana korupsi sehingga tidak dapat mencapai hasil yang diharapkan.[5]

3.         UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1971
Presiden dengan suratnya No. R-07/P.U/VIII/70 tanggal 13 Agustus 1970 telah menyerahkan sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) kepada DPR RI. Kemudian disetujui dan dikenal dengan nama Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan diumumkan dalam Lembaran Negara No. 19 tahun 1971 yang meruapakan pengganti dari Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.[6]
Undang-udang yang dimulai berlaku pada tanggal 29 Maret 1971 tersebut diciptakan dengan pertimbangan bahwa:
a.       Perbuatan-perbuatan korupsi sangat merugikan keungan/perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional
b.      UU no. 24 Prp. Tahun 1960 kurang mencukupi untuk mencapai hasil yang diharapkan dan oleh karenanya undang-undang tersebut perlu diganti.[7]

4.         UU PTPK 1999
Kemudian pada tahun 1999 dibuatlah kembali UU PTPK yang menggantikan UU No. 3 Tahun 1971 yang sudah ada, karena UU yang lama sudah dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi negara. Selanjutnya UU ini disebut dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi yang dipakai hingga saat ini.


C.       Sebab-sebab Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi dalam buku yang berjudul “Strategi Pemberantasan Korupsi” yang diutarakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, antara lain :
1.         Aspek Individu Pelaku
a.         Sifat tamak manusia
b.        Moral yang kurang kuat
c.         Penghasilan yang kurang mencukupi
d.        Kebutuhan hidup yang mendesak
e.         Gaya hidup konsumtif
f.          Malas atau tidak mau bekerja
g.        Ajaran agama yang kurang diterapkan

2.         Aspek Organisasi
a.         Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
b.        Tidak ada kultur organisasi yang benar
c.         Sistem akuntabilitas yang benar di instansi pemerintah yang kurang memadai
d.        Kelemahan sistem pengendalian manajemen
e.         Manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasi

3.         Aspek Tempat Individu dan Organisasi Berada
a.         Budaya masyarakat
b.        Kurang menyadari dampak korupsi.
c.         Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
d.        Masyarakat kurang menyadari perannya dalam mendukung pemerintah memberantas korupsi

D.       Jenis Korupsi
Menurut buku KPK, tindak pidana korupsi dikelompokkan menjadi 7 macam. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1.      Perbuatan yang Merugikan Negara
2.      Suap - menyuap
3.      Penyalahgunaan Jabatan
4.      Pemerasan
5.      Korupsi yang berhubungan dengan kecurangan
6.      Korupsi yang berhubungan dengan pengadaan
7.      Korupsi yang berhubungan dengan gratifikasi (hadiah)
Jenis korupsi yang lebih operasional juga diklasifikasikan oleh tokoh reformasi, M. Amien Rais yang menyatakan sedikitnya ada empat jenis korupsi, yaitu:
1.         Korupsi ekstortif, yakni berupa sogokan atau suap yang dilakukan pengusaha kepada penguasa.
2.         Korupsi manipulatif, seperti permintaan seseorang yang memiliki kepentingan ekonomi kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat peraturan atau UU yang menguntungkan bagi usaha ekonominya.
3.         Korupsi nepotistik, yaitu terjadinya korupsi karena ada ikatan kekeluargaan, pertemanan, dan sebagainya.
4.         Korupsi subversif, yakni mereka yang merampok kekayaan negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan ke pihak asing dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Diantara model-model korupsi yang sering terjadi secara praktis adalah pungutan liar, penyuapan, pemerasan, penggelapan, penyelundupan, pemberian (hadiah atau hibah) yang berkaitan dengan jabatan atau profesi seseorang.

E.       Indikator Korupsi
Dalam UU No. 31 Tahun 1979, agar seseorang dapat didakwa dan dituntut telah melakukan suatu tindak pidana korupsi jika disyaratkan adanya suatu kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan. Yaitu perbuatan yang dilakukan untuk memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu badan yang dapat merugikan keuangan negara. Perbuatan itu dikatakan telah melawan hukum (UU) sehingga dikatakan sebagai korupsi.[8]

F.        Contoh Kasus Korupsi
Dari beberapa teori yang sudah dipaparkan diatas maka untuk menguatkan teori dirasa perlu untuk memberikan contoh perilaku korupsi dalam dunia nyata. Berikut ini adalah contoh nyata korupsi yang ada di Indonesia:
1.         Kasus Korupsi Akil Mochtar (Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi)
Pengadilan Tipikor Jakarta menggelar sidang dengan Akil Mochtar (20/04/2014). Dalam berkas yang dibacakan, Akil menerima masing-masing sekitar 3 miliar, 1 miliar, 10 miliar, 19 miliar, 500 miliar terkait permohonan keberatan atas hasil pilkada Kab. Gunung Mas, Lebak, Lawang, Palembang, dan Lampung Selatan. Atas perbuatannya Akil diancam Pasal 12 huruf c UU no 31/1999.
Akil juga didakwa menerima gratifikasi 1 miliar, 3 miliar, 2 miliar, 10 miliar yang diberikan untuk memengaruhi putusan perkara pemohonan keberatan atas hasil pilkada kab. Buton, Pulau Morotai, Tapanuli Tengah dan Jawa Timur. Akil diancam Pasal 12 Huruf c UU No. 31/1999.
Akil didakwa menyalahgunakan kekuasaannya dengan memaksa seseorang memberikan, membayar atau mengerjakan sesuatu untuk dirinya. Akil meminta Wakil Gubernur Papua Alex Hesegem memberikan 125 jt sebagai ongkos karena telah berkonsultasi mengenai hasil pilkada di Merauke dan Asmat. Sehingga dijerat pasal 12 huruf e UU no 31/1999.
Selanjutnya Akil didakwa menerima hadiah sejumlah 7,5 miliar dari Wawan karena kekuasaan selaku hakim MK terkait pemohonan keberatan hasil pilkada, dalam perkara ini dijerat pasal 11 UU no. 31/1999.
Dari semua dakwaan itu, Akil diberikan ancaman hukuman paling tinggi yaitu 20 tahun penjara.

2.         Kasus Korupsi PT Giri Jaladhi Wana (GJW)
PT Giri ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara korupsi penyalahgunaan Pasar Sentra Antasari Banjarmasin pada 2010 lalu. PT Giri yang ditunjuk sebagai pengelola Pasar mulai tahun 2004 sampai 2007 dan terbukti tidak pernah membayar uang pengelolaan kepada kas Daerah Pemerintah Kota Banjarmasin.
Jumlah yang tidak disetorkan adalah 7,6 miliar dari 2004 sampai 2007. Padahal sewaktu menjadi pasar tradisional pemerintah kota menerima retribusi sebesar 800 juta per tahunnya, namun setelah dibangun menjadi pasar modern malah kehilangan uang dari hasil pengelolaan pasar yang dikelola PT Giri.
PT Giri dinyatakan bersalah berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Tipikor Banjarmasin tanggal 10 Agustus 2011. PT Giri bersalah melakukan korupsi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ayat 1 juncto pasal 18 juncto pasal 20 UU Tipikor.
Dalam keputusan, Dirut PT Giri yaitu Stephanus Widagdo dijatuhi hukuman 6 tahun penjara serta membayar uang pengganti 6,3 miliar. Kemudian PT Giri juga dijatuhi hukuman penutupan sementara selama 6 bulan dan membayar denda 1,3 miliar.

G.       Referensi
Hakim, Lukmanul. 2014. “Inilah Deretan Pasal dan Tindak Pidana yang Disangkakan pada Akil”. http://www.solopos.com/2014/02/20/kasus-akil-mochtar-inilah-deretan-pasal-dan-tidak-pidana-yang-disangkakan-pada-akil-491116 (diakses pada 15 November 2017).
Lubis, Mochtar dan James C. Scott. 1990. Korupsi Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Saleh, K. Wantjik. 1983. Tindak Pidana Korupsi dan Suap. Jakarta: GHALIA Indonesia.
Soepardi, Prapto. 1990. Tindak Pidana Korupsi. Surabaya: Usaha Nasional.
t.n. 2013. “Ini Korporasi Pertama yang Dijerat UU Tipikor”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50feae76da86bf/ini-korporasi-pertama-yang-dijerat-uu-tipikor (diakses pada 15 November 2017).


[1] Mochtar Lubis dan James C. Scott, 1990, Korupsi Politik, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, hlm. 49.
[2] K. Wantjik saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: GHALIA Indonesia, hlm. 29.
[3] Prapto Soepardi, 1990, Tindak Pidana Korupsi, Surabaya: Usaha Nasional, hlm. 16.
[4] K. Wantjik saleh, 1983, Tindak Pidana Korupsi dan Suap, Jakarta: GHALIA INDONESIA, hlm. 32.
[5] Prapto Soepardi, Op.Cit., hlm. 17.
[6] Ibid.
[7] K. Wantjik saleh, Op.Cit., hlm. 36.
[8] Prapto Soepardi, Op.Cit., hlm. 18.

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon