Almost Is Never Enough
Pada kesempatan kali ini admin akan membagikan sebuah cerpen dari cerpenmu.com, disana terdapat banyak sekali kumpulan cerpen menarik, cerpen kali ini mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja. Bagaimanakah ceritanya? yuk simak dibawah ini:
Almost Is Never Enough
Hampir saja, mana pernah cukup?
Aku menatap jendela kamar. Terlihat laki-laki berlari menuju
teman-temannya. Hatiku mulai berseru lagi. Siapa dia? Siapa dia?
Pertanyaan itu terus muncul dalam otakku yang sepertinya sekarang hanya
bisa pasrah karena terus dipaksa untuk mengingat laki-laki berkacamata
itu. Sebenarnya sudah lama aku melihatnya. Mungkin tiga atau empat bulan
yang lalu. Tapi itulah aku, aku yang berbeda dari yang lain. Dimana
saat teman-teman sebayaku asyik berbelanja di mall, mulai mengenal
make-up atau mengecat kukunya. Aku hanya bisa diam bersama buku tulis
yang sudah mulai kusam ini. Mataku terus melihatnya. Terus hingga tak
pernah berhenti. Senyumannya seperti menarik mataku untuk terus
menatapnya. Cara tertawanya, suaranya yang sayup-sayup terdengar
seakan-akan diputar terus menerus di dalam telingaku. Ya Tuhan, siapa
dia?
—
Saat ini taman lumayan ramai. Penjual es krim yang kembali berjualan
mungkin yang membuatnya ramai. Cuaca memang terik, dan es krim memang
sesuatu yang cocok untuk tenggorokanku yang kering ini. Aku mulai
merogoh kantongku. Sial, uangku ke mana? Aku menghela napas. Merelakan
mataku melihat es krim yang memenuhi mata. Kerongkonganku semakin kering
dan sekarang mulai sakit. Mungkin sebaiknya aku pulang dan mengambil
minum.
“Eh lo..” Tepukan sukses mendarat ke pundakku. Aku melirik sedikit.
Laki-laki berkacamata itu. Menepuk pundakku. Wajahku merona malu. Apa
yang akan dia lakukan, menciumku? memelukku? atau hanya sekedar
menanyakan nomor telepon? Ya Tuhan aku bahagia sekali. Mimpi apa aku
semalam.
“Lo punya duit gak?” Senyumku berubah menjadi senyuman kecut.
“Untuk apa? Kalau ada sudah aku beli es krim dari tadi!!” Aku berteriak sambil menunjuk gerobak es krim yang membuatku semakin ingin mencurinya satu.
“Oh jadi lo mau es krim?” Nadanya sedikit keras. Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan. Hancur reportasi aku di hadapannya.
Ia mendekati temannya, lalu menuju gerobak es krim.
“Nih ambil. Lagi pms ya mbak? Marah mulu..” Ia menyodorkan es krim rasa stawberry, kesukaanku. Dari mana ia tahu?
Aku hanya bisa terdiam. Mulut sudah dipaksa mengunci. Takut ia akan berulah seperti tadi dan membuat harga diriku hancur berserakan.
“Wey, tadi marah-marah. Sekarang diem. Abis ya batrenya? Sini dicharge dulu.” Ia mencubit pipiku. Dia memperlakukanku seakan-akan ia sangat mengenalku.
“Apa sih.. sakit tahu! Lagi pula kita kan baru kenal. Udah pegang-pegang aja.” Aku meraba pipiku yang kemerahan. Entah karena dicubit atau karena hidung kita sangat dekat.
“Memangnya ada aturan. Kalau baru kenal gak boleh cubit-cubitan? Yee
sok tahu! Lagian gue udah kenal lo kok. Gue aja tahu nama lo.” Jantung
berdebar-debar kegeeran. Ah mungkin saja ia berbohong.
“Sherlyn kan? Gue jago kan..” Aku menganga tak percaya. Bagaimana ia tahu namaku? Apa dia penguntit? Apa selama ini ia mengikutiku? Apa karena ia suka padaku?
Aku tertawa. Lalu beranjak pergi dari bangku taman. Ya Tuhan.. Kejadian yang tak akan pernah terlupakan seumur hidupnya.
—
Aku tertawa cekikikan, sepertinya wanita itu kegeeran. Mana bisa aku
mengetahui namanya tanpa melihat nama di jaket yang ia kenakan. Wanita
itu berbeda, bisa-bisanya ia menggerakkan tanganku tanpa sadar untuk
mencubit pipinya.
“Siapa perempuan itu?” Perempuan yang tak asing itu datang, Vanessa pacarku sejak dua tahun yang lalu. Hasil perjodohan keluarga kita yang kebetulan satu perusahaan.
“Sepupuku. Memangnya kenapa?” Aku terpaksa berbohong. Jikalau tidak, habislah aku digantung oleh perempuan cemburuan ini.
“Oh.. Okay. Eh Mamaku manggil katanya bakal ada acara makan malam. Kamu dandan yang rapi ya sayang.” Ia mengecup keningku.
Kakiku melangkah di depan rumah megah berlantai empat. Aku merapikan
jasku dan memastikannya sudah rapi. Tak ingin aku buruk di hadapan
orangtua Vanessa. Bukan, bukan karena aku ingin menjadi menantu
harapannya, sama sekali tidak! Tapi jikalau aku buruk di hadapannya
hancur semua harga diri keluargaku. Vanessa terlihat cantik dengan dress
biru dengan beberapa bunga di bagian pinggangnya. Seketika aku teringat
dengan Sherlyn. Alangkah lebih cantik jika ia yang mengenakan dress
ini.
“Hei. Kamu sudah datang ternyata. Bagaimana dengan bisnismu nak? Sukses? Ah kau kan tinggal melanjutkan pekerjaan orangtuamu kan. Tapi kalau bisa kau harus mengembangkannya lagi!” Seorang Bapak berumur separuh abad mengoceh di hadapanku.
“Papi apaan sih, ini kan mau makan malam bukan membahas soal pekerjaan.” Vanessa mengajakku masuk ke dalam rumah yang megah, lebih megah dari rumahku.
Makanan sudah tersedia di hadapanku. Makanan dia sajikan bergaya ala
raja. Tak ketinggalan gelas yang sudah diisi wine. Pelayan mulai
berhamburan sibuk menata meja. Sudah biasa memang untuknya. Menurutnya,
ia adalah putri kerajaan yang harus dimanja dan dipenuhi semua
keinginannya. Aku menikmati makanannya. Lumayan nikmat. Sial, Bapak tua
itu kembali mengoceh kembali soal pekerjaanku. Ya Tuhan, aku libur untuk
melupakan semua pekerjaanku. Bukan seperti ini.
“Sepertinya kamu bosan membahas hal ini.” Akhirnya ia mengerti perasaanku sekarang. “Ya sudah, sekarang kita bahas soal yang lain.”
“Nah bagus tuh om.. Bahas apa kira-kira?” Aku memunculkan senyum puas.
“Kapan kalian menikah?” Makanan yang baru saja kutelan hampir tersedak hingga terbatuk-batuk. Pertanyaan macam apa itu?
Mereka semua tertawa melihatku.
Vanessa, untuk apa aku menikahimu kalau aku mencintai yang lain.
Iya, dia adalah Sherlyn, ‘sepupuku’. Aku menyukainya.
—
Aku melihat ke arah kaca. Pantas saja ia tahu namaku, pikirku sambil
menatap belakang jaketku bertuliskan SHERLYN besar-besar. Kalau begitu,
siapa yang tak tahu kalau namaku Sherlyn. Kecuali kalau ia buta huruf.
Sial, aku merasa menyesal sudah kegeeran. Ia memang tak ada pernah niat
untuk tahu namaku. Aku yang memiliki niat saja tak pernah tahu namanya.
Tok.. Tok..
“Dek, mau anterin ini gak? Brownies buatanku. Kirim ke Bapak pengusaha itu loh.” Ujar Kakakku sambil membawa bungkusan berwarna merah.
“Bapak pengusaha?” Tanyaku kebingungan.
“Ituloh. Bapak Pramono. Masa gak tahu sih, yang rumahnya ada kolam renangnya.” Wajahnya seakan-akan pasti kalau aku mengetahuinya. “Sherlyn.. Ituloh yang bokapnya Ardhito. Jangan bilang kamu gak tahu dia. Pasrahlah..”
Aku menggeleng. Tiba-tiba aku ditarik entah ke mana. Hingga akhirnya aku berdiri di depan pintu. Rumahnya megah, pantaslah sebagai rumah seorang pengusaha. Air mancur di depannya.
“Pokoknya lo ketuk terus lo kasih, gue mau beresin dapur.” Tiba-tiba ia menghilang, menyeramkan. Sial, ini sudah malam.
Tiba-tiba seorang laki-laki berkacamata, memakai celana pendek dan TANPA BAJU datang ke luar seakan-akan baru bangun tidur. Aku berteriak, keras sekali. Tak pernah aku melihat laki-laki bertelanjang dada seperti itu. Aku mencoba menutup mataku, ya Tuhan aku masih suci.
“Ini gue udah pake baju.” aku membuka mataku.
Laki-laki itu? Ia yang ku temui di taman tadi? “Norak banget sih gak pernah lihat cowok seksi topless.” Ia melihatku, tidak sepertinya ke arah brownies yang ku bawa. “Wah enak tuh, apaan? brownies ya?”
Ia langsung merebutnya dari tanganku lalu membukanya dan menyantapnya depan pintu. Dan tentunya, di hadapanku.
“Buatan lo?” Ucapnya sambil menggerogoti sebagian brownies. Belum sempat berkata-kata ia mengangguk.
“Oh lo bisa masak. Keren-keren.” Ucapnya sambil mengangguk. “Oh iya sorry udah buat lo kegeeran. Nama di jaket lo itu loh. Hahaha..”
Ia tertawa sampai ia tersedak. Sekarang giliranku yang tertawa, keras sekali.
“Wah parah lo, malah diketawain. Eh lo mau masuk gak? Sepi nih rumah.” Ingin sekali ku jawab iya, tapi malu dan takut merepotkan.
“Udah gue tahu lo mau.” Tanganku ditarik ke rumahnya.
Mataku menangkap banyak sekali barang mewah. Mungkin kalau aku bisa
membawanya satu, aku sudah bisa membeli handphone yang merek terkenal
dan model terbaru. Memang anak pengusaha.
“Lo pengusaha ya?” Aku menatapnya.
“Hampir. Gue cuman ngurusin usaha bokap aja kok.” Ia menatapku.
Terlihat fotonya ia dengan perempuan. Besar sekali. Perempuan itu sangat cantik dengan rambutnya yang terurai dan gaun berwarna merah ditambah dengan posenya memeluknya.
“Itu siapa?” Tanyaku ketakutan dengan jawabannya.
“Gak perlu tahu. Ntar lo juga tahu sendiri kok.” Ia tersenyum. Aku masih menatapnya penasaran. Semoga tak ada hubungannya dengan cinta.
“Ngomong-ngomong lo tahu nama gue apa? Masa lo dateng ke rumah orang
tapi gak tau nama anak tuan rumahnya sih.” Ucapnya mengalihkan
pembicaraannya.
“Ardhito kan?” Ia menatapku aneh. Sambil menatap belakang bajunya. Aku tertawa cekikikan. “Tenang aja. Gue tahu dari Kakak gue kok! Memangnya kamu mau apa pake jaket merah dengan tulisan namamu besar-besar.”
“Mau. Asal kau pakai juga.” Ucapnya pasti.
“Dasar laki-laki aneh!” Ucapku sambil mencubit pipinya. “Mulai eror nih, dicharge dulu ya!”
Kita tertawa bersamaan.
—
“Hah Ardhito mau tunangan?” Aku menatap undangan yang tersebar.
Hatiku teriris tipis-tipis. Firasatku menuju kepada perempuan cantik
itu. Ya ia memang cocok dengan Dito. Pengusaha kaya menikah dengan
perempuan cantik dan kaya. Aku datang cepat-cepat ke rumahnya. Hingga
tak sengaja menabrak orang, Ardhito.
Aku tersenyum melihatnya, “Cie nikah muda.”
Ia menatapku, “Percuma kalau gak cinta. Gak bakal bahagia.”
Aku percaya. Ia tak mau menikah dengan perempuan cantik itu. Tapi mengapa? Kenapa ia menolak mencintai seorang perempuan cantik dan kaya?
“Cinta itu datengnya pelan-pelan dit. Pasti bisa kok!” Ucapku sambil menghiburnya.
“Gue gak bego Sher! Gue tahu. Gue udah kasih waktu dua tahun. Tapi apa? Hasilnya nihil.” Ucapnya sambil menatapku. “karena semua rasa itu, rasa cinta, rindu dan semuanya..”
Ia mentapku, dalam sekali.
“Ada di kamu. Semuanya kamu yang punya.” Entah bagaimana kata itu bisa terlontar dari bibirnya. Jantungku mulai berdebar.
Ia menghela napas lalu melangkahkan kakinya menuju tukang es krim, tempat kita bertemu beberapa hari yang lalu.
“Gue gak yakin kalau kita bisa kayak gini lagi besok.” Ucapku sambil menikmati es krim yang mulai mencair.
“Bisa saja. Cinta itu kayak game. Kita bisa curang di beberapa permainan kapanpun kita mau! karena kita bosan bermain dengan cara yang biasa. Iya kan?” Jawabnya ringan.
“Tapi tetap saja sebenarnya jalannya bukan begitu. Lagi pula kalau kita main dengan cara curang, game itu bisa saja rusak. Atau kalau sudah ketahuan penciptanya, cara curang itu akan dihapus.” Kini Dito diam. Tak ada lagi kata yang berani terlontar.
“Bagaimana kalau kita membuat game baru? Jadi kita tidak perlu
melakukan cara curang, dan game itu bisa disesuaikan dengan yang kita
mau?!”
Aku tertawa, pembahasan ini sungguhlah menarik. Menggabungkan game dengan cinta memanglah hal yang mudah.
Aku tertawa, pembahasan ini sungguhlah menarik. Menggabungkan game dengan cinta memanglah hal yang mudah.
“Tapi tidak semudah itu.. Kok jadi bahas game sih. Gak ada hubungan tahu!” Aku berusaha mengalihkan perbincangan. Aku tahu ia tak mau berhubungan dengan wanita bergaun merah itu.
“Gue sama Vanessa udah lama pacaran. Itu semua sih berdasarkan kata orangtua aja. Ya perjodohanlah kata mudahnya. Kalau gue sih benar-benar gak ada dasar cinta buat sama dia. Tapi gak tahu deh kalau dia, bisa iya bisa enggak. Kalau enggak ya baguslah!” Ia mengeluarkan semua isi hatinya. Benar dugaanku.
—
Pertunangan Ardhito dengan Vanessa tetap berjalan. Semua warga di
komplekku diundang. Aku sendiri merasa kurang nyaman berada di
gerombolan baju formal dan parfum. Tapi mau bagaimana lagi, Kakakku
memaksaku untuk menyisakan waktuku di tempat ini bersama gaun unguku.
Sungguh, aku terlihat aneh. Semoga saja Dito tidak melihatku sekarang.
“Sher, Kakak mohon jadilah perempuan sebentar saja.” Ucap Kakakku dengan gaun dengan warna senada. “Dito ganteng ya..”
Aku hanya mengangguk jujur. Meskipun perempuan di sebelahnya itu sedikit mengganggu.
Kini tak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku memutuskan untuk ke
luar ruangan. Tak kuat aku dengan bau parfum yang menyebar ke seluruh
ruangan mewah itu. Perhatianku tertarik pada piano di sudut ruangan itu.
Aku mulai mengendap-endap masuk. Aku memang nakal. Tapi untuk apa piano
diasingkan di ruangan seperti itu. Aku mulai menekan-nekan tuts,
ingatanku mulai terbaca. Not balok terbayang di otakku.
“Almost, Almost is never enough, So close to being in love, If I would have known that you wanted me. The way I wanted you, Then maybe we wouldn’t be two worlds apart, But right here in each others arms”
“And we almost, We almost knew what love was, But almost is never enough…”
Aku terdiam ketika tiba-tiba ada orang yang membuka pintu. Sial, apakah
itu tukang yang akan membawa piano ini? Atau satpam yang siap mengusirku
keluar? Tidak.. Tidak akan..
Ruangan ini gelap. Jadi aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya laki-laki berparas tinggi.
Ruangan ini gelap. Jadi aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Hanya laki-laki berparas tinggi.
“If I could change the world overnight, There’d be no such thing as
goodbye, You’ll be standing right where you were, And we’d get the
chance we deserve. Try to deny it as much as you want, But in time our feelings will show,
Cause sooner or later, we’ll wonder why we gave up, The truth is
everyone knows…”
Suaranya tak asing lagi. Terusku iring suaranya dengan menekan-nekan tuts piano. Itu Dito, benar itu dia! Suaranya persis bagaimana ia tertawa, bagaimana ia menyombongkan dirinya, bagaimana ia mencurahkan isi hatinya.
“Suara lo bagus juga.” Ucapku di kegelapan. Tiba-tiba lampu menyala.
Terlihat Dito dengan kaos putihnya dan jasnya yang tergeletak di
sampingnya. Ia terlihat tersenyum, senyum yang berbeda dengan senyuman
saat ia bersama perempuan itu.
“Makasih. Kenapa lo di sini?” Jarinya menyentuh tuts piano. “Gak makan? Padahal ada makanan kesukaan lo.”
“Tahu dari mana lo?” Aku sibuk menatap baju yang ku kenakan. Tak akan aku kegeeran lagi!
Dito tertawa, “Tuh biodata lo nempel di jaket lo.” Seketika aku melepas jaketku. Tertawanya makin keras ketik aku tahu bahwa aku telah tertipu olehnya.
Kita tertawa bersama-sama hingga tiba-tiba ada perempuan datang
menghampiri kita. Bukan, dia bukan Kakakku. Itu perempuan bergaun merah.
“Dit, cukup ya bohongin gue! Gue gak bego ya! Gue tahu dia itu bukan sepupu lo. Itu simpenan lo kan, Jawab dit.” Perempuan yang kukira malaikat berbeda menjadi setan yang berapi-api. Tunggu, aku sepupu Dito? Apa ia menyembunyikanku dari perempuan itu?
“Vanessa, Jelas-jelas lo bego ya. Lo ketipu juga kan? Inget ya, gue
gak pernah cinta sama lo. Gue udah tunggu cinta itu dateng selama dua
tahun. Tapi apa? Gue malah geli sama lo! Sama tingkah lo yang sok jadi
putri raja.” Emosi Dito semakin mengebu-ngebu ketika tamparan melesat ke
pipi Dito.
“Oh iya, kenalin ini Shelryn. Orang yang gue cinta dan Yang gak berlagak seperti putri raja.” Ia menarikku pergi ke luar. Perempuan itu sepertinya masih berapi-api karena tingkah Dito.
“Lo kenapa bilang gue sepupu?” Ucapku halus.
“karena kalau gue gak bilang begitu. Kamu bisa digantung, terus dicincang-cincang, atau enggak kamu bisa disop sama dia! Kamu mau apa? Kamu jadi santapan makan malamnya dia?” Ucapnya sambil sedikit tertawa. Aku menajawabnya dengan tatapan ngeri.
—
“Dito! Apa-apaan kamu!” Bapak separuh baya itu datang. Bukan, bukan
yang itu, dia Ayahku. Mukanya merah seakan memendam perasaan marah.
“Kamu udah puas bikin Papa malu? Bikin semua perusahaan Papa berantakan?
Kamu bikin pekerjaan Papa hancur Dito!”
“Oh jadi Papa jodohin Dito sama Vanessa buat pekerjaan Papa? Papa egois! Papa sama sekali gak mengerti cinta.” Suaraku membuat semua Adik-Adikku berlari berhamburan ke kamarnya. Aku tahu mereka tak pernah melihat aku semarah ini, apalagi kepada Papa.
“Apa Papa gak bisa bayangin? Papa dipaksa jatuh cinta sama orang yang enggak tahu siapa cuma untuk perusahaan. Cinta itu menyangkut soal perasaan pa!”
Mama datang seakan ingin melerai kita berdua. Tapi mau bagaimana lagi, kita kalau marah bagaikan api yang membara.
“Papa gak mau tahu! Kamu harus menikah dengan Vanessa. Kalau bisa, kamu pergi jauh sana. Biar perempuan itu tak mengganggu kamu lagi!” Papa memukul meja. Seakan-akan itu adalah keputusan yang pasti.
Masih terbayang pertengkaran Dito dengan Vanessa itu. Aku sendiri
merasa menyesal sudah memiliki rasa kepada Dito. Jika saja kalau aku tak
punya perasaan seperti ini. Sudah pasti aku tak berada di antara mereka
berdua. Kringg.. Kring.. “Halo? Kamu sekarang mandi! karena gue tahu lo
belum mandi. Terus pake baju yang bagus jangan kayak gelandangan. Terus
turun ke bawah.” Suara yang tak asing lagi. Tapi untuk apa?
Mobil Dito melaju ke sebuah mall yang dimana teman-teman sekolahku
akan datang ke sini setiap weekend bersama gengnya. Jujur, aku jarang
sekali ke sini karena Kakak sangatlah malas pergi ke mall.
“Kamu pernah ke sini kan?” Ucap Dito melirik pertokoan yang berada di depan kita. Aku mengangguk.
“Kita mau ngapain?” Tanyaku. Dito hanya menjawab sambil melihat sepasang laki-laki dan perempuan berjalan-jalan melihat-lihat barang demi barang.
“Pacaran. Ya tapi gak kayak gitu. Ikutin aja..” Dito menarik tanganku ke tempat bermain anak-anak.
“Ke sini?” Ucapku sambil melirik ke arah Dito.
Ia hanya mengangguk, “Kita coba semua permainan di sini!”
“Siapa takut.” Ucapku bersemangat.
Tapi langkahku berhenti di depan mesin berbentuk kotak dan tinggi yang mungkin dua kali lipat dariku. Mesin itu bergambar kamera dan hasil foto yang dihias seperti punya Angel, teman sebangkuku.
“Lo mau foto-foto? Ya udah ayo masuk!” Dito tersenyum sambil memasuki ruang dengan latar belakang hijau. “Narsis juga lo ternyata..”
Hasil fotonya aneh. Pose muka kita yang terbilang sangat aneh
dipadukan dengan aksesoris aneh. Tapi aku sangat suka foto ini hingga
kita mengambilnya dua kali, dengan pose yang aneh juga.
“Mau yang mana? Aneh semua..” Dito tertawa melihat hasil foto kita. Aku tertawa sambil melirik ke sekitar. Terlihat wanita dengan laki-laki berparas tampan khas pemain drama korea. Wanita itu berbalik arah, itu Vanessa.
“Dito! Itu Vanessa.” Ucapku terbata-bata. Dito segera mengambil handphonenya dan mengambil foto mereka beberapa. Mungkin untuk ditunjukan kepada orangtuanya.
“Balik yuk. Mau presentasi ke orangtua nih.” Senyum puas terpancar tiba-tiba. Aku mengangguk.
Aku menatap foto gila itu. Aku tersenyum sendiri dan kadang tertawa.
Hingga tak sadar kakaku sudah berada di sebelahku, dan melihat fotoku.
“Kakak apaan sih? Gak lucu.” Ucapku sambil mencoba menutupi beberapa foto itu.
“Oh jadi lo simpenannya Ardhito. Ohh..” Ucapnya setengah berteriak.
Aku hanya bisa terdiam. Aku tak tahu harus menjawab apa. Apa aku simpanannya? Atau hanya sahabat? Atau pacar?
—
“Tidak mungkin! Anak saya tidak mungkin berselingkuh dengan pria itu.
Lagi pula, siapa itu? Saya saja tidak mengenalnya.” Ayah Vanessa
terlihat panik ketika foto itu berada di hadapannya. Aku hanya
tersenyum. Tiba-tiba Vanessa datang, dengan laki-laki yang baru saja ku
lihat. Wajah Vanessa terlihat panik ketika melihatku, orangtuaku, dan
orangtuanya. Orangtua Vanessa melihatnya tajam.
“Ma.. Pa.. Vanessa gak suka diginiin. Diikat dengan satu laki-laki. Aku tahu Dito juga gak suka diginiin. Kita gak punya rasa buat bangun cinta.” Vanessa menangis. Kita semua hanya bisa terdiam, hening.
“Cinta itu menyangkut perasaan. Jangan bawa soal pekerjaan ke dalam masalah cinta. Kalau Papa dan Om ingin bekerja sama, silahkan. Tapi jangan jadikan kita berdua sebagai bukti kerja sama kalian. Kita punya hidup sendiri, kita buka robot yang diprogram kita harus bagaimana.” Ucapku lalu pergi mengangkat kaki kel uar dari rumah megah itu.
Tok.. Tok.. Aku sudah mengetuk pintu rumah itu beberapa kali. Bunga
mawar sudah berada di tanganku. Ah mungkin saja ia sedang siap-siap.
Mungkin beberapa saat lagi.
Tok.. Tok.. Tiba-tiba seseorang perempuan dengan pakaian hitam-hitam datang. Matanya sembab seperti habis menangis. Ada apa ini?
“Permisi, Sherlyn-nya ada?” Tanyaku perlahan namun tangisnya semakin kencang. Ia membawaku ke ruang tamu.
Terlihat Sherlyn berbaring.. di dalam peti mati. Ada apa ini? Apa ia sedang bercanda denganku. Aku menunggunya beberapa detik, berharap ia terbangun dan menganggetkanku.
“Terima kasih kamu udah bikin Sherlyn bahagia.” Ucap wanita tua, mungkin itu Ibunya.
“Maaf Tante, saya nggak ngerti. Shelryn kenapa?” Tanyaku, sebenarnya masih banyak sekali pertanyaan yang menumpuk di otakku.
“HIV-AIDS. Penyakit yang sudah membunuhnya perlahan dari kecil. Sebab itulah banyak yang menjauhinya. karena menurut mereka, penyakit itu menular dan sangat berbahaya.” Jawab seorang perempuan, mungkin Kakaknya. Terpaksa ia yang menjawabnya karena Ibunya sudah tak bisa berkata-kata lagi.
Kenapa Sherlyn tak pernah bilang? Ia terlihat sehat-sehat saja kok.
Tak pernah ada rasa sakit terpancar dari wajahnya. Hanya senyuman dan
amarahnya saat pertama kali bertemu.
Air mataku mengalir, mencium kening Sherlyn untuk yang terakhir kalinya. Teringat foto di dompetku, dimana aku mencium keningnya. Aku mencintaimu Sherlyn.
Cerpen Karangan: Ghina Athaya
Deskripsi :
Contoh Cerpen Romantis , Cerpen Remaja , Cerpen Percintaan
EmoticonEmoticon